Wirid Visual dan Seni Keberuntungan Butet Kartaredjasa: Ketika Menulis Nama Jadi Jalan Pulang ke Takdir
Wirid Visual dan Seni Keberuntungan Butet Kartaredjasa: Ketika Menulis Nama Jadi Jalan Pulang ke Takdir
Oleh A.S. Laksana
YOGYAKARTA — Malam itu, 5 Februari 2023, udara di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja terasa hangat, bukan hanya karena cuaca tropis, tapi oleh keakraban enam sahabat yang duduk melingkar di sekitar meja kecil: Hamid Basyaib, Yusuf Arifin, Ong Hari Wahyu, Dodi Ambardi, penulis, dan sang tuan rumah, Butet Kartaredjasa. Mereka baru saja menyaksikan konser penghormatan untuk Sawung Jabo—seorang seniman legendaris yang hidupnya adalah perlawanan terhadap lupa. Kini, mereka menikmati suguhan ala Jogja: durian montong yang legit, kue lapis legit yang berlapis-lapis seperti kisah hidup, dan sambal goreng peda yang “lezatnya seperti iblis”—begitu pedas dan gurih hingga membuat lidah menari-nari dan akal sehat terlupa.
Saya, pengaku jujur, empat kali menambah nasi. Pada kali kelima, tubuh menolak—perut sudah menyerah, meski lidah masih meminta.
Obrolan mengalir bebas: dari politik hingga seni, dari kenangan masa muda hingga kekhawatiran atas masa depan bangsa. Namun, tepat pukul 23.30, suasana berubah. Butet, yang sejak tadi diam-diam memperhatikan jam, berdiri pelan, lalu berpindah ke meja di sudut ruangan. Ia mengeluarkan buku folio bergaris, pulpen hitam, dan mulai menulis—berulang-ulang, dengan gerakan tangan yang tenang namun penuh intensitas.
Inilah saat ia memulai “wirid visual”-nya: ritual harian yang telah ia jalani selama sembilan tahun tanpa putus.
---
Wirid: Dari Doa Lisan ke Afirmasi Visual
Kata wirid berasal dari akar Arab w-r-d, yang berarti “datang secara teratur” atau “mengulang-ulang”. Dalam tradisi Islam, wirid adalah amalan spiritual berupa pengulangan zikir, ayat suci, atau doa tertentu sebagai bentuk penyucian jiwa dan pendekatan kepada Tuhan. Ia adalah jeda dalam hiruk-pikuk dunia—saat seseorang berhenti sejenak, menarik napas, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, tapi juga bermakna.
Namun, dalam tangan Butet Kartaredjasa—seorang seniman multidimensi yang dikenal lewat teater, film, dan aktivisme budaya—wirid mengalami metamorfosis. Ia tak lagi hanya diucapkan, tapi ditulis. Tak hanya dihafal, tapi dilukis. Dan tak hanya untuk Tuhan, tapi juga untuk diri sendiri: sebagai afirmasi identitas, penyembuhan luka, dan undangan terbuka bagi keberuntungan.
“Menulis nama sendiri berulang-ulang itu seperti menyapu lantai jiwa,” katanya suatu kali. “Setiap goresan menghapus debu yang menutupi siapa kita sebenarnya.”
---
Titik Balik: Pertemuan dengan Arkand Bodhana Zeshaprajna
Semuanya bermula pada awal 2014. Butet, yang kala itu tengah terpuruk—sakit parah hingga terbaring selama dua tahun, ditipu hingga kehilangan harta, dan terlibat sengketa dengan lembaga keuangan—mengundang sejumlah tokoh budaya ke rumahnya di Bantul. Di antara mereka: Eros Djarot, Slamet Rahardjo, Goenawan Mohamad, Arswendo Atmowiloto, Sujiwo Tejo, dan Agus Noor. Penulis hadir bersama Hamid Basyaib.
Di forum itu, Butet memperkenalkan seorang lelaki bernama Arkand Bodhana Zeshaprajna—pakar metafisika asal Batak Karo yang telah lebih dari dua dekade meneliti hubungan antara nama, tanggal lahir, dan takdir.
Arkand—yang lahir sebagai Immanuel Alexander Tarigan dan meninggal pada 16 Oktober 2020 di usia 49 tahun—bukan dukun biasa. Ia bergelar doktor dari University of Metaphysics International, Los Angeles, dan mengembangkan sistem analisis berbasis numerologi, fonetik, dan resonansi vibrasional. Menurutnya, setiap nama memiliki “kode pikiran” yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak.
“Nama bukan sekadar label,” katanya waktu itu. “Nama adalah arsitektur takdir.”
Ia menggunakan perangkat lunak khusus untuk menghitung dua parameter utama: Synchronicity Value (kemampuan menangkap peluang) dan Coherence Value (kemampuan memenuhi kebutuhan dasar). Nama dengan angka rendah di kedua parameter ini—seperti “Butet Kartaredjasa”—dipercaya rentan membawa kesialan, konflik, dan ketidakstabilan finansial.
Solusinya? Kembali ke nama asli pemberian ayah: Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa.
“Saya tidak berganti nama,” tegas Butet. “Saya hanya mengaktifkan kembali nama yang selama ini tertidur.”
---
Menulis sebagai Meditasi, Seni, dan Strategi Hidup
Sejak hari itu, Butet mulai menulis nama panjangnya setiap malam sebelum tidur. Awalnya di buku folio bergaris—yang ia sebut “kitab blirik”—dengan tulisan rapi, baris demi baris, halaman demi halaman. Teman-temannya juga mencoba, termasuk Sujiwo Tejo yang kemudian menggunakan nama Arya Sujiwo Tedjo. Namun, hanya Butet yang bertahan hingga kini.
Dan sesuatu yang luar biasa terjadi.
“Sejak saya konsisten menulis dan menggunakan nama ini, keberuntungan datang tanpa henti,” katanya. Proyek seni mengalir deras. Undangan tampil di luar negeri kembali menghampiri. Kesehatannya membaik secara perlahan. Bahkan, masalah hukum dan finansial yang dulu menghimpit perlahan-lahan mencair.
Bagi Butet, ini bukan kebetulan. Ini adalah konsekuensi logis dari penyelarasan nama dan jiwa.
Namun, Butet tak berhenti di sana. Ia mulai bereksperimen: menggabungkan tulisan nama dengan sketsa wajah, simbol wayang, motif batik, atau lanskap alam. Wiridnya berubah menjadi karya seni rupa kontemporer—di mana setiap lembar kertas bukan hanya doa, tapi juga lukisan, bukan hanya afirmasi, tapi juga narasi visual tentang pencarian jati diri.
“Saya sadar, wirid ini bukan hanya untuk saya,” katanya. “Ini adalah bahasa universal: tentang bagaimana kita bisa kembali ke akar, lalu melompat lebih tinggi.”
Kini, karya-karya “wirid visual”-nya akan dipamerkan dalam ArtJog 2023 pada Juni mendatang—sebuah pengakuan bahwa praktik spiritual pribadinya memiliki resonansi estetis dan filosofis yang luas.
---
Metafisika Nama dan Takdir Bangsa
Gagasan Arkand tak hanya menyentuh individu, tapi juga merambah ranah kebangsaan. Dalam salah satu esainya di situs pribadinya, ia menganalisis nama “Republik Indonesia” dan menyimpulkan: strukturnya buruk.
“Synchronicity Value 0,5 menunjukkan ketidakmampuan negara menangkap peluang, meski kaya sumber daya. Coherence Value 0,2 menunjukkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar—negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tapi masih impor garam,” tulisnya.
Menurutnya, akar masalah terletak pada asal-usul nama “Indonesia” yang bukan berasal dari bahasa Nusantara, melainkan ciptaan sarjana Barat (George Earl dan James Logan) pada abad ke-19. “Nama yang bukan lahir dari rahim bangsa sendiri tak bisa menjadi fondasi takdir yang kuat,” katanya.
Solusinya? Ganti nama negara menjadi Nusantara—sebuah istilah kuno yang berasal dari kitab Negarakertagama, yang berarti “pulau-pulau di antara” dan secara struktural memiliki nilai metafisika yang harmonis.
Pada 2014, Arkand mengusulkan hal ini secara terbuka. Delapan tahun kemudian, gagasannya mulai diwujudkan lewat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN)—meski sayang, ia tak sempat menyaksikannya. Ia meninggal pada 2020, di tengah pandemi, di usia yang masih muda.
Namun, warisannya hidup—terutama dalam praktik harian Butet Kartaredjasa.
---
Wirid sebagai Seni Hidup di Zaman Kacau
Di tengah dunia yang serba instan, penuh kecemasan, dan kehilangan makna, wirid visual Butet menawarkan sesuatu yang radikal: kesabaran. Kesabaran untuk duduk diam. Kesabaran untuk menulis ulang identitas sendiri. Kesabaran untuk percaya bahwa takdir bisa diubah—bukan dengan kekerasan, tapi dengan pengulangan yang penuh kesadaran.
Ia mengingatkan kita pada ajaran para sufi: bahwa penyebutan nama Tuhan berulang-ulang bukan ritual kosong, tapi cara membersihkan cermin hati agar bisa memantulkan cahaya ilahi. Dalam versi Butet, nama yang ditulis bukan nama Tuhan, tapi nama diri sendiri—karena bagi seniman, diri sendiri adalah tempat pertama di mana Tuhan tinggal.
“Setiap kali saya menulis ‘Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa’, saya bukan sedang memanggil nama,” katanya suatu malam, sambil menunjukkan halaman penuh tulisan tangan yang disusun seperti aliran sungai. “Saya sedang mengingatkan diri: inilah aku. Inilah akar. Inilah jalan pulang.”
Dan dalam setiap goresan tinta itu, tersembunyi doa, seni, dan—mungkin—masa depan yang lebih baik. Bukan hanya untuk Butet, tapi untuk siapa pun yang berani menulis ulang namanya, dengan keyakinan penuh, di tengah malam yang sunyi.
---
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman langsung penulis bersama Butet Kartaredjasa di Yogyakarta, Februari 2023.
0 Response to "Wirid Visual dan Seni Keberuntungan Butet Kartaredjasa: Ketika Menulis Nama Jadi Jalan Pulang ke Takdir "
Posting Komentar